perceraian karena syiqaq

Perceraian Dengan Alasan Syiqaq (dharar) dalam Perundang-Undangan Negeri- Negeri Muslim Modern

Oleh : Ali Trigiyatno

 

Pendahuluan

Setiap pasangan yang melangsungkan akad nikah tentunya berharap agar pernikahan yang dijalaninya berjalan mulus, harmonis penuh kebahagiaan. Lebih jauh lagi berharap agar pernikahan yang dijalaninya berlangsung abadi samapai “kaken-kaken dan ninen-ninen” ( samapi tua renta).

Namun sebuah harapan tidak selalu menjadi kenyataan, bahkan sering terjadi sebaliknya. Rumah tangga yang mestinya penuh kebhagiaan terkadang justeru penuh gejolak dan bara api yang dirasakan panas membara bagi pasangan yang menjalaninya.

Munculnya permasalahan keluarga, bias berasal dari suami atau dari isteri, atau bahkan mungkin dari kedua-duanya. Jika pergaulan suami isteri telah memburuk dan sulit dirukunkan kembali, maka hal seperti ini dalam bahas fiqh telah terjadi syiqaq yang secara harfiah berarti ‘retak’ atau pecah.

Syiqaq bila tidak tertangani dengan baik, maka jika dipandang sudah tidak ada harapan lagi utnuk berastu dan hidup rukun damai kembali, maka dalam fiqh  dapat dijadikan sebagai slah satu alas an buat bercerai atau menceraikan. Kenyataannya, hamper semua  Negara yang mayoritas pendudknya muslim, mengatur dalam UU Keluarga mereka ketentuan mengenai bolehnya pasanagan mengajukan cerai dengan alas an syiqaq atau karena salah satu pasangan melakukan tindakan dharar (penganiayaan).

Untuk lebih jelasnya, tulisan berikut akan memeparkan lebih detail aturan mengenai kebolehan menceraikan pasangannya dengan alas an syiqaq dan dharar.

Syiqaq Sebagai Alasan

Diantara alasan-alasan perceraian yang jadi bahan pertimbangan hakim dalam mengabulkan tututan perceraian baik yang diajukan oleh suami maupun isteri salah satunya adalah terjadinya percekcokan yang terus-menerus atau salah satu pasangan membahayakan yang lain sehingga kelangsungan kehidupan suami isteri menjadi tidak mungkin diteruskan atau dalam bahasa fiqihnya disebut syiqaq dan darar. Pada bagian di atas telah dipaparkan bagaimana ahli-ahli fiqih memandang persoalan cerai dengan alasan darar dan syiqaq ini. Selanjutnya akan dipaparkan bagaimana UU hukum keluarga di negeri-negeri muslim dewasa ini mengatur soal ini.

       2.2.1. Indonesia

Di Indonesia UU yang mengatur masalah perkawinan terdapat dalam UU Nomor 1 Tahun  1974 yang diundangkan tanggal 2 Januari 1974. Ketentuan yang mengatur perceraian dimungkinkan dengan alasan syiqaq terdapat dalam pasal 2 UUP Jo. KHI ( Kompilasi Hukum Islam) pasal 116.

Pasal 2 UUP menyatakan:

“ Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami-isteri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami-isteri “[1]

 

Sedang dalam KHI yang dikeluarkan melalui INPRES (Instruksi Presiden) Nomor 1 Tahun 1991 tertanggal 10 Juni 1991 yang dijadikan hukum materiil di lingkungan  Peradilan Agama pasal 116, yang mengatur alasan-alasan perceraian pada poin d berbunyi :

“ Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayaakan pihak lain “[2]

 

poin f berbunyi :

“ Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.

 

Dari ketentuan UUP dan KHI diatas jelas di Indonesiaperceraian dapat dijatuhkan dengan alasan syiqaq dan darar.

       2.2.2 Mesir

Ketentuan tentang ini diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 1929 pasal 6 yang berbunyi :[3]

“ Apabila isteri menuduh suami melakukan darar terhadapnya dan ia merasa tidak sanggup lagi melangsungkan pergaulan suami-isteri bersamanya, dibolehkan baginya mengadu ke qadhi untuk diceraikan. Disaat itu qadhi dapat menceraikan dengan talak ba’in, jika darar itu terbukti dan hakim gagal mendamaikan keduanya. Apabila tuntutan itu ditolak kemudian perempuan itu berulang-ulang mengajukan gugatan dan tuduhan darar tidak meyakinkan hakim, qadhi dapat mengutus dua orang hakam”.[4]

 

“ Hakam sejauh mungkin dipilih dari keluarga suami dan isteri, jika tidak memungkinkan bisa diambilkan dari luar mereka yang mengerti persoalan keduanya dan memiliki kemampuan untuk melakukan perdamaian” (pasal 7)

 

“ Berita acara dari hakam memuat tanggal kapan mereka akan memulai dan mengakhiri tugas. Periode arbitrasi tidak akan lebih dari enam bulan. Pengadilan akan menginformasikan kepada hakam dan kedua pasangan  mengenai perkara ini. Pengadilan juga akan meminta hakam untuk bersumpah bahwa mereka akan menjalankan misinya dengan adil dan iktikad baik. Pengadilan dapat menambah waktu yang tidak lebih tiga bulan dan jika hakam tidak mampu menyelesaikan hasil kerja mereka dalam waktu tambahan ini, mereka akan dianggap tidak mampu menghasilkan kesepakatan “. (pasal 8)

 

“ Pengabaian dari masing-masing pasangan untuk terlibat dalam setiap persidangan sesudah mereka diberi tahu tidak akan mempengaruhi perdamaian. Hakam akan menyelidiki sebab-sebab perselisihan dan akan menempuh segala upaya untuk menghasilkan perdamaian “. (pasal 9)

 

“ Ketika hakam tidak mampu mendamaikan, (i) jika kesalahan terletak pada suami hakam dapat menjatuhkan talak ba’in satu dengan jaminan bahwa isteri tidak akan kehilangan hak-haknya sebagaimana yang timbul dari perkawinan dan perceraian.(ii) jika kesalahan itu timbul dari pihak isteri, hakam akan menjatuhkan talak dengan mewajibkan isteri membayar kompensasi (‘iwad). (iii) Jika kesalahan itu timbul dari keduanya maka hakam dapat menjatuhkan talak ba’in tanpa kompensasi atau dengan membayar kompensasi yang sepadan dengan kesalahan masaing-masing. (iv) jika sebab-sebab perselisihan tidak diketahui dan kesalahan tidak bisa ditemukan mereka dapat menjatuhkan talak tanpa kompensasi.”[5]

 

Dari bunyi pasal tersebut, jelas-jelas Mesir menganut pendapat bahwa perceraian dimungkinkan terjadi dengan sebab atau alasan terjadi syiqaq dan darar.

      2.2.3  Tunisia

Sebagaimana diatur dalam Majallah al-Ahwal asy-Syakhsiyyah (The Code of Personal Status) tahun 1956 yang diberlakukan mulai 1 Januari 1957 pasal 25 yang berbunyi :

“ Jika salah seorang dari suami-isteri melaporkan adanya darar dan tidak ada bukti baginya dan hakim kesulitan menentukan darar itu terhadap pasangannya, hakim dapat meminta bantuan dua orang hakam. Hakam itu harus memperhatikan dengan seksama, jika ia sanggup mendamakan maka keduanya disatukan dan kedua hakam wajib melaporkan segala sesuatunya kepada hakim”.[6]

 

     2.2.4. Maroko

Ketentuan mengenai ini terdapat dalam Mudawwanah al-Ahwal asy-Syakhsiyyah 1957-1958 pasal 56 ayat 1 berbunyi :[7]

“ Apabila isteri menuduh suaminya berbuat darar padanya dengan jalan apa saja yang menyebabkan tidak dapat dilangsungkannya hubungan suami-isteri itu dan tuduhannya itu terbukti sedang hakim gagal mendamaikan keduanya maka isteri itu diceraikan darinya”.

 

 Ayat 2 berbunyi :

“Jika tuntutan cerai itu ditolak dan laporan itu diajukan berulang-ulang sedang tindakan darar itu tidak berhenti, hakim akan mengutus dua orang hakam untuk menengahi keduanya.[8]

 

Ayat (3) berbunyi :

 “Kedua hakam itu harus meneliti sebab-sebab syiqaq antara keduanya dan keduanya mengerahkan segenap kemampuannya untuk mendamaikan, jika kedua hakam itu gagal, mereka akan membawa masalah itu ke muka hakam yang akan memutus berdasar pada apa yang ditemukan mereka.”.[9]

 

Maroko merupakan negara dengan kaum musliminnya menganut madzab Maliki, jadi dalam soal ini doktrin madzab Maliki secara penuh diterapkan.

    2.2.5. Yordania

Dalam UU Hak-hak Keluarga ( Qanun Huquq al-‘Ailah ) Tahun 1951 yang efektif berlaku mulai tanggal 15 Agustus 1951 pasal 96 berbunyi :[10]

“ Jika isteri menuduh suami melakukan darar terhadap dirinya yang menyebabkan tidak mungkinnya diteruskan ikatan hubungan keluarga maka boleh baginya meminta qadhi untuk menceraikannya”.[11]

Pasal 97 berbunyi :

“ Hukum yang terbit dalam masalah perceraian ini adalah talak ba’in. “

 

    2.2.6 Suriah

Ketentuan soal ini diatur dalam UU Ahwal asy-Syahsiyyah yang diberlakukan 17 September 1953 pada pasal 112 ayat 1 berbunyi :[12]

“ Apabila salah satu pihak suami isteri menuduh salah satu pihak melakukan darar terhadap yang lain yang mengakibatkan tidak mungkinnya kelangsungan rumah tangga itu diteruskan, maka boleh baginya meminta qadhi untuk menceraikannya.”

 

Ayat 2 berbunyi :

 

“ Jika darar terbukti dan qadhi gagal mendamaikannya, dipisahkan keduanya dan dianggap cerai ini sebagai talak ba’in”.[13]

   

    2.2.7. Irak

Berdasar UU Status Perorangan (The Code of Personal Status ) Tahun 1959 pasal 40 ayat 1 yang berbunyi :[14]

“ Baik suami maupun isteri yang menuduh pasangannya melakukan tindakan darar terhadap pasangannya yang menyebabkan kelangsungan kehidupan keluarga menjadi tidak mungkin, atau munculnya syiqaq antara keduanya dapat mengajukan perceraian”.

 

Ayat 2 berbunyi :

“ Qadhi dapat sebelum memutuskan untuk menceraikan, mengutus dua hakam dari masing-masing keluarga untuk mengadakan islah jika memungkinkan qadhi dapat mengundang kedua suami-isteri itu untuk menunjuk hakam, jika mereka tidak sepakat, qadhi dapat menunjuk sendiri “.

 

Ayat 3 berbunyi :

 

“ Hakam dengan segenap kemampuannya mengusahakan perdamaian, jika mereka mendapatinya tidak mungkin dilakukan rekonsiliasi, mereka akan mengajukan persoalan itu pada qadhi beserta pendapat mereka, seperti pendapat mereka terhadap kedua pasangan itu yang dianggap bersalah, jika mereka tidak setuju, qadhi akan menujuk hakam ketiga.

 

Ayat 4 :

“ Ketika Qadhi yakin bahwa masing-masing pasangan itu menyebabkan bahaya terhadap pasangannya atau pertengkaran itu terus berlangsung dan tidak mungkin lagi diadakan perdamaian, jika suami menolak menceraikannya, qadhi akan menceraikannya. Mahar yang belum dibayarkan akan hilang jika kesalahan itu timbul dari isteri, dalam kasus isteri telah menerima seluruh mas kawin, hakim dapat meminta mengembalikan separuhnya”.[15]

 

         2.2.8. Sudan

Berdasarkan Law on Maintenance & Judicial Divorce 1916 ( manshur 17 of 1916), pada pasal 14 berbunyi :

“ Jika seorang suami melakukan darar terhadap isterinya yang membuat kelangsungan kehidupan rumah tangga tidak mungkin diteruskan, qadhi dapat memisahkan perkawinan itu”.

 

Pasal 15 berbunyi :

 

“ Qadhi dapat menyerahkan urusan –perselisihan itu kepada dua orang hakam yang masing-masing diambil dari keluarganya yang akan mengupayakan segala cara untuk mendamaikannya “.[16]

 

    2.2.9 Lebanon

 

Menurut Ottoman Law of 1917 sebagaimana telah di’sesuaikan’ selama kurun waktu 1941 – 1962, pasal 130 meyatakan :

“ Ketika hubungan suami-isteri menjadi tegang (syiqaq) dan masing-masing melapor ke pengadilan, seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan akan ditunjuk. Jika tidak ada hakam dari keluarga yang mampu, orang luar dapat ditunjuk. Dewan keluarga yang diberi kuasa untuk itu akan mendengar pengaduan dan pembelaan  mereka lantas hakam akan menguji mereka dan mengerahkan segenap cara buat mendamaikannya . Jika perdamaian gagal dicapai dan kesalahan terletak pada suami, talak dapat dijatuhkan. Jika kesalahan berasal dari isteri, khulu’ dapat dijatuhkan dengan membayar seluruh atau sebagian mas kawin. Jika hakam berselisih pendapat, pengadilan akan mengangkat hakam lain yang qualified diantara keluarga suami-isteri atau seorang wasit dari luar, putusan dari hakam itu akan menentukan dan final”.[17]

 

    2.2.10. Libya

 

Ketentuan mengenai soal ini terdapat dalam Law on Womens Rights in Marriage and Divorce Nomor 176 1972 sebagaimana telah diamandemen dengan UU Nomor 18 Tahun 1973 pasal 4 berbunyi :

“ Jika masing-masing suami-isteri mengadu, baik sebelum maupun sesudah dukhul mengenai tindak kekerasan yang dilakukan satu pasangan terhadap yang lain yang mengakibatkan kelangsungan hidup berumah tangga tidak mungkin dilangsungkan, baik suami maupun isteri dapat mengajukan ke pengadilan untuk meminta cerai, lantas pengadilan akan mengadakan sidang untuk mendamaikan keduanya. Jika hal ini gagal, dua hakam dapat diangkat untuk mendamaikan keduanya sesuai dengan ketentuan pasal-pasal berikutnya”.[18]

 

Demikianlah sebagai gambaran singkat bagaimana syiqaq atau darar dijadikan salah satu sebab perceraian.[19] Ternyata banyak negara yang mengambilnya dalam hukum keluarga mereka. Padahal pendapat yang semula hanya populer di kalangan madzab Maliki[20] ini merupakan minoritas, namun kemaslahatan juga yang mendorong para pembuat hukum di negara-negara muslim tersebut untuk mempertimbangkan dibolehkannya perceraian dengan sebab syiqaq dan darar.

Pada prinsipnya di negara-negara yang membuka celah percerian dengan alasan tersebut, sedari awal tetap berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari perceraian dan mengoptimalkan fungsi dan peran hakam untuk dapat menyatukan kembali kedua pasangan yang berselisisih itu. Namun jika hakam ini gagal barulah hakim memutuskan untuk memisahkan keduanya.

Memang menutup sama sekali kebolehan cerai akibat darar dan syiqaq amat rentan terjadi tindak kekerasan atas isteri oleh suami dan sebaliknya, madaharatnya akan semakin besar. Dari itu demi menghindari kemadharatan dan meraih kemaslahatan, pasangan suami-isteri yang terjatuh dalam percekcokan yang tidak ada harapan lagi untuk hidup rukun, apalagi sampai menimbulkan bahaya bagi pasangannya, lebih maslahat untuk diceraikan saja. Hal ini sebagaimana digariskan dalam salah satu kaidah fiqhiyyah yang berbunyi :

درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح

 


[1] Undang-Undang Perkawinan di Indonesia,  (Surabaya: Arkola, T.th), hlm. 11.

 

[2] Dikutip dari Kompilasi Hukum Islam dalam lampiran buku Cik Hasan Basri, (ed.), Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum nasional, Cet. I, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 176.

 

[3] UU ini memuat 23 pasal yang disusun dengan model ekletik, yakni dengan memilih dari berbagai madzab. UU ini dianggap sebagai langkah besar dalam reformasi hukum keluarga di dunia Islam. Lihat Taher majmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi:Academy ofLaw and Religion, 1987, hlm. 28-29.

[4] Bunyi teks UU ini dapat dibaca dalam lampiran buku Taher Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, (Bombay: NM. Tripath PVT. LTD. T.th), hlm. 51. Juga dikutip oleh as-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II, hlm. 249.

[5] Bunyi pasal 7 sampai 10 merupakan hasil amandemen UU Tahun 1929 yang dilakukan pada tahun 1985.

 

[6] Taher Mahmood,  Personal Law…, hlm. 23.

 

[7] UU ini berisi 300 pasal yang disusun dalam 6 buku yang masing-masing diberlakukan pada masa yang berbeda. Buku ke-II yang berisi masalah pembubaran perkawinan diberlakukan tanggal 21 November 1957. UU ini hampir seluruhnnya mengadopsi pemikiran hukum madzab Maliki. Lihat Taher mahmood, Personal Law…, hlm. 118.

[8] Taher Mahmood, Family Law Reform…, hlm. 124.

 [9] Ahmad al-Khumasi, at-Ta’liq ‘Ala Qanun al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, Cet. III, ( Rabath: Dar li an- Nasyr al-Ma’rifah, T.Th.), Juz I, hlm, 383.

 [10] UU ini sudah diganti dengan Code of Personal Status 1976 yang lebih komprehensif yang disebut dengan  Qanun al-Ahwal asy-Syakhsiyyah yang memuat 187 pasal dibagi 19 bab. Lihat Taher Mahmood, Personal Law…, hlm 75-76.

 

[11] Teks terjemahan ini seperti yang termuat dalam buku Alauddin Kharufa yang berjudul Syarh Qanun al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, namun ada sedikit perbedaan dalam lampiran buku Taher mahmood yang berjudul Family Law Reform…, hlm. 83. Adapun bunyi teks dalam bahasa Inggris adalah sebagai berikut :

Pasal 96 : “ If a woman alleges that her husband ill threats her in such a way that continuance of marriage is not possible with regard to the social status of the parties, the qadhi may appoint arbitrators from their families, who shall look into the matter and attempt a reconciliation”.

Pasal 97 : “ If the arbitratiors can not effect a reconciliation and find fault on the part of the husband or on both sides, dissolution of marriage may be decreed. If the fault is found on the part of the wife, a khulu’ may be decreed”.

 

[12] UU ini berisi 308 pasal yang dibagi menjadi 6 buku, pemutusan perkawinan diatur dalam buku ke-II. Lihat Taher Mahmood, Persoanl law…., hlm. 140. UU ini telah diamandemen tahun 1975 dengan ditambah 22 pasal. Perubahan ini berkisar pada soal poligami, mahar, nafkah, mut’ah, biaya perkawinan, biaya penyusuan dan masalaah perwalian.

 [13] Taher Mahmood, Family Law Reform…, hlm. 96. Menurut Wahbah Az-Zuhaili, UU ini telah diamandemen tahun 1985, pasal 112 ayat 3, yakni talak itu tidak dijatuhkan seketika namun ditunda sampai  1 bulan jika darar itu tidak terbukti demi kemaslahatan. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Iskami wa Adillatuhu, Juz VII, hlm. 529.

 

[14] UU ini pernah diamandemen tahun 1963. UU  tahun 1959 pada dasarnya diambil dari madzab Hanafi dan Ja’fari yang dominan di Irak. Lihat Taher Mahmood, Family law Reform…, hlm. 138. UU tersebut diundangkan pada tanggal 19 desember 1959. Ia merupakan hasi ‘ramuan’ dari berbagai madzab baik Sunni maupun Syi’ah. Sunni diwakili oleh Hanafi dan Syi’I diwakili oleh madzab Ja’fari. UU ini memuat 85 pasal yang dibagi menjadi 8 bab. Bab yang berhubungan dengan pemutusan perkawinan adalah bab IV pasal 34-46. Dalam perkembangannya UU itu telah beberapa kali diamandemen yakni tahun 1963, 1979, 1980, 1981 dan 1983. Periksa Taher Mahmood, Persoanl law…., hlm. 50-53.

[15] Alauddin Kharufa, Syarh Qanun al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, (Bagdad: Matba’ah li an-Nasyr al-Ma’arif, 1383/1963), Juz II, hlm. 3392. Merupakan sebuah buku yang membahas UU hukum keluarga Irak yang dibandingkan denagn UU hukum keluarga di negeri-negeri Arab, syariat Yahudi, Nasrani, Romawi dan Perancis. Pengarang buku ini adalah Professor Hukum di Baghdad.

[16] Periksa Taher Mahmood, Personal Law…, hlm. 133-34.

 

[17] Ibid., hlm. 105-106.

[18] Ibid., hlm. 113. Untuk penjelasan lebih jauh baca pula bunyi pasal 5,6,7,8,9,10 dan 11.

 

[19] Penjelasan secara singkat tentang perceraian negar-negara Arab dengan alasan syiqaq dan darar dapat dijumpai dalam  Jamal J. Nasir, The Women Under Islamic Law and Under Modern Islamic Legislation, Cet. I, ( London : Graham & Trotmen Ltd., 1990) pada halaman 82-85. Negara yang dijelaskan mencakupSuriah,Tunisia, Irak, Yordania, Aljazair danKuwait.

 [20] Madzab Maliki terkenal dengan sumber hukumnya berupa maslahat mursalah yang  menekankan betapa pentingnya aspek kemaslahatan dipertimbangkan sebagai acuan dalam menetapkan hukum. Madzab-madzab lain pada dasarnya juga mengacu maslahat sebagi salah satu bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum dengan kadar dan intensitas yang berbeda-beda.

Leave a comment